Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ETOS KERJA DALAM ISLAM

AYAT-AYAT TENTANG ETOS KERJA

  1. .   Makna dan Hakikat Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak, karakter.[2] Toto Tasmara memaknai ethos dengan sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja.[3] John M. Echols dan Hasan Shadily memaknai ethos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, atau kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok orang atau manusia.[4]Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu: (1) suatu aturan umum atau cara hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperanngkat aturan tingkah laku.[5]

Sementara kerja adalah segala kegiatan ekonomis yang dimaksudkan untuk memperoleh upah, baik berupa kerja fisik material atau kerja intelektual.[6] Sedangkan menurut Toto Tasmara, kerja adalah segala aktifitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagi bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.[7] Sedangkan kerja keras berarti bekerja dengan segala penuh kesungguhan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut Toto Tasmara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai kerja karena di dalam kerja terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu:
1.  Aktivitasnya dilakukan karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga timbullah rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas.
2. Apa yang dilakukan tersebut dikerjakan karena kesengajaan, sesuatu yang direncanakan.[8]
Bekerja sebagai aktivitas dinamis mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim harus penuh dengan tantangan, tidak monoton, dan selalu berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mencari terobosan-terobosan baru dan tidak pernah puas dalam berbuat kebaikan.[9]
Istilah yang paling dekat pengertiannya dengan kerja keras adalah jihad, yang artinya berjuang di jalan Allah. Asal katanya jahada artinya bersungguh-sungguh. Sehingga jihad dalam kaitannya dengan kerja berarti: usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil optimal. Islam memandang bekerja secara halal juga merupakan jihad, sebagaimana hadits Rasulullah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن مُعَاذٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن كَثِيرٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بن مُسْلِمٍ، عَنِ الْحَكَمِ بن عُتَيْبَةَ، عَنِ بن أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بن عُجْرَةَ، قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِلْدِهِ وَنَشَاطِهِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ”.[10]

Artinya: telah lewat seorang laki-laki dihadap Rasulullah SAW, maka para sahabat melihat kegagahannya dan giatnya dalam bekerja. Kemudian mereka bertanya: apakah ini termasuk fisabilillah? Maka bersabda Rasulullah SAW: sesungguhnya kalau dia bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka itu termasuk fisabilillah, dan sesungguhnya jika dia bekerja untuk kedua orang tuanya dan kakeknya maka itu termasuk fisabilillah, dan jika ia bekerja untuk mencukupi dirinya sendiri, maka itu fisabilillah, dan jika ia bekerja untuk mencari kemegahan dan kemewaan maka dai berada di jalan syetan.
Bahkan menuntut ilmu jika dilandasi mencari ridho Allah juga bagian dari jihad fi sabilillah, sebagaimana dalam hadis Nabi saw:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِىٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْعَتَكِىُّ عَنْ أَبِى جَعْفَرٍ الرَّازِىِّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ  .قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَاهُ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَرْفَعْهُ.[11]

Apabila etos ini dihubungkan dengan kerja, maknanya menjadi lebih khas. Etos kerja adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata dengan arti yang menyatu. Makna khas itu adalah bahwa etos kerja merupakan concern pragmatis. Ia membentuk perilaku individual dan social masyarakat. Dapat pula bermakna semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok.[12] Selain itu juga sering diartikan sebagai setiap kegiatan manusia yang dengan sengaja diarahkan pada suatu tujun tertentu. Tujuan itu adalah kekayaan manusia itu sendiri, entah itu  jasmani atau rohani atau mempertahankan  kekayaan yang telah diperoleh. Dengan demikian etos kerja merupakan sikap atau pandangan manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dilatarbelakangi nilai-nilai yang diyakininya. Nilai-nilai itu dapat berasal dari suatu agama tertentu, adat istiadat, kebudayaan, serta peraturan perundang-undangan tertentu yang berlaku dalam suatu negara.
Dengan kata lain, etos kerja dapat juga berupa gerakan penilaian dan mempunyai gerak evaluatif pada tiap-tiap individu dan kelompok. Dengan evaluasi itu akan tercipta gerak grafik menanjak dan meningkat dalam waktu-waktu berikutnya. Ia juga bermakna cermin atau bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pegangan bagi seseorang untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil kemudian.[13]Ringkasnya, etos kerja adalah double standar of life yaitu sebagai daya dorong di satu sisi, dan daya nilai pada setiap indiividu atau kelompok pada sisi yang lain. Etos kerja, jika dikaitkan dengan agama berarti sikap atau pandangan atau semangat manusia terhadap kerja yang dilakukan, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang agama yang dianutnya.
  1. Konsep Etos Kerja Islami
Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya merupakan agama yang memiliki ajaran yang bersifat universal, abadi, dan sesuai untuk segala zaman dan tempat. Islam juga adalah agama yang mengatur dan memberikan petunjuk dalam tatanan hidup manusia dengan sempurna[14]  tidak terkecuali masalah-masalah bekerja yang erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Ekonomi dalam ajaran Islam bagaimanapun pentingnya tidak lebih hanya merupakan satu bagian dari keseluruhan aspek kehidupan manusia, sekalipun memang diakui sebagai bagian pokok dan amat berpengaruh. Namun demikian, ekonomi bukan satu-satunya unsur yang ada dalam kehidupan manusia di dunia.Satu hal yang fundamental dalam ajaran Islam yang berbeda dengan ajaran lain adalah bahwa kegiatan ekonomi seperti juga kegiatan lainnya hanya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan akhirat.[15]
Ayat Pertama :
Al-Qur’an memandang bekerja keras adalah sangat penting sama dengan jihad. Hal ini di antaranya terdapat dalam An-Nisa’: 95.
žw “ÈqtGó¡o„ tbr߉Ïè»s)ø9$# z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# çŽöxî ’Í<’ré& Í‘uŽœØ9$# tbr߉Îg»yfçRùQ$#ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# óOÎgÏ9ºuqøBr’Î/ öNÍkŦàÿRr&ur 4 Ÿ@žÒsù ª!$# tûïωÎg»yfçRùQ$# óOÎgÏ9ºuqøBr’Î/ öNÍkŦàÿRr&ur ’n?tã tûïωÏè»s)ø9$# Zpy_u‘yŠ 4 yxä.ur y‰tãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 Ÿ@žÒsùur ª!$# tûïωÎg»yfßJø9$# ’n?tã tûïωÏè»s)ø9$# #·ô_r& $VJŠÏàtã ÇÒÎÈ
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.
     
Hamka dalam tafsir Al Azhar menjelaskan bahwa ayat ini turun ketika akan terjadi perang Badar.[16]Beberapa riwayat menguraikan tentang ayat ini, antara lain yang dikemukakan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Nabi, al Barra’, bahwa ketika ayat ini turun, Rasul saw. Memanggil Zaid ibn Tsabit -salah seorang penulis wahyu- dan memerintahkannya untuk menulis, maka ia menulisnya. Ketika itu belum lagi turun firman-Nya (غير اولي الضور  ( gaira uli>dh dharar, maka Abdullah ibn Ummi Maktum, seorang buta mengeluh tentang kebutaannya sehingga tidak mampu ikut berperang, maka turunlah firman-Nya (غير اولي الضور  ( yang mengecualikan orang-orang memiliki uzur. [17]
Pada ayat diatas, kata (   القاعدون ) al-qa>’adu>n (yang duduk) diperhadapkan dengan ( المجاهدن) al-muja>hidu>n, padahal biasanya duduk diperhadapkan dengan berdiri. Mengapa demikian ? asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa pada masa awal Islam, setiap mukmin yang memeluk Islam mengangap diri mereka pejuang, setiap saat siap memenuhi panggilan, tidak pernah sesatpun berhela-hela. Adapun yang duduk, maka ia bagikan tidak siap untuk berjuang dan tidak memiliki cirri-ciri mukmin yang baik.[18]
Arti jihad ialah kerja keras, bersungguh-sungguh ataupun berjuang.[19] Kata jihad seringkali disalahpahami. Ini mungkin disebabkan karena ia lazim diucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman itu juga disuburkan oleh pemahaman arti kata (انفس ) anfus yang seringkali dibatasi hanya dalam arti jiwa, bukan diri manusia dengan segala totalitasnya. Al-Qur’a>n menggunakan kata nafs dan anfus antara lain dalam arti totalisa manusia dan demikian, kata ( انفسهم ) anfusihim dapat mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan juga waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari tempat dan waktu. Dengan demikian, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban atau bersedia berkorban dengan apa saja yang berkaitan dengan dirinya sendiri.[20]

Ayat Kedua:
      Bahwa bekerja giat (memiliki etos kerja tinggi) adalah manifestasi dari kekuatan iman seseorang, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al Taubah ayat 105 berikut:
È@è%ur (#qè=yJôã$# “uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qß™u‘ur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( šcr–ŠuŽäIy™ur 4’n<Î) ÉOÎ=»tã É=ø‹tóø9$# Íoy‰»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ã‹sù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.

Ayat ini didahului dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang perintah untuk bersedekah, kemudian perintah untuk bertaubat. Setelah mereka bertaubat, maka Allah memerintahkan untuk beramal dalam bentuk bekerja yang baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Allah berjanji, bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan dilihat dan diberikan penilaian oleh Allah dan orang-orang yang beriman. Allah menjanjikan setiap amal kebaikan yang dilakukan akan diberikan balasan kebaikan oleh Allah.[21]
Penyebutan al-mu’minun disini dimaksudkan untuk mejelaskan bahwa pembalasan dan penilaian atas hasil kerja seseorang tidak hanya dilakukan oleh Allah tetapi juga orang lain. Allah berjanji bahwa mereka akan mengetahui hasil dari seluruh amal yang dilakukannya di hari kemudian. Al-Thabathaba’i dalam tafsir al-Mizan menyebutkan bahwa ayat-ayat sebelumnya ditujukan bagi orang-orang munafiq, sementara ayat ini ditujukan bagi orang-orang mukmin.[22]
         Ayat yang memiliki pengertian hampir sama dengan firman Allah SWT diatas yang menunjukkan bahwa bekerja adalah manifestasi kekuatan iman, yaitu  firman Allah yang berbunyi Q.S. az-Zumar ayat 39 :
ö@è% ÉQöqs)»tƒ (#qè=yJôã$# 4’n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ’ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù šcqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ

Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Sesungguhnya akupun bekerja, maka kelak kamu akan mengetahui.

Ayat diatas adalah perintah (amar) dan karenanya mempunyai nilai hukum “wajib” untuk dilaksanakan. Siapapun mereka yang secara pasif berdiam diri tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut telah menggali kubur kenistaan bagi dirinya.
Setiap muslim seharusnya menyadari bahwa dirinya hanya berharga apabila ia berkarya, mencipta dan mampu memberikan arti pada lingkungannya. Maka ini relevan dengan nasehat Rasulullah SAW yang mengatakan :
Ayat ini sangat relevan dengan hadis Nabi saw:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِى عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -  لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ  . [23]

Artinya: “Andainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan diatas punggungnya, hal itu lebih baik dari pada kalau ia meminta-minta pada seseorang yang kadang-kadang diberi, kadang pula ditolak

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ [24]…….
Artinya: “Bahwa mukmin yang kuat itu labih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah…..”.

Salah satu kebahagiaannya yang paling berbunga apabila dirinya mampu mengangkat yang lemah, memberi cahaya bagi mereka yang kegelapan, menjadi tongkat bagi mereka  yang buta, dan kalau perlu tampillah dia sebagai pohon yang rindang ditengah padang tandus untuk tempat penghentian dan berlindungnya para musafir yang kepanasan dan ingin melepas rasa lelah dan dahaganya.
Sebagaimana juga ditegaskan oleh hadis Nabi Saw:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ  .[25]

Bahwa Nabi Saw bersabda: tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah dan dahulukanlah orang-orang yang menjadi tanggunganmu…..”

Pada kurun waktu kenabian dan awal kebangkitan Islam sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas makna bekerja telah diterima oleh para pengikut Rasul dengan sikap sami’na wa ato’na. Hal ini terlihat dari sikap keteladanan Rasul yang merupakan suatu catatan sejarah paling monumental dalam hal kebanggaan bekerja dan semangat untuk berprestasi atas dasar hasil keringatnya sendiri.
Rasulullah bersabda :

الْوَلِيدُ بن مُحَمَّدٍ الْمُوَقَّرِيُّ، عَنْ ثَوْرِ بن يَزِيدَ، عَنْ خَالِدِ بن مَعْدَانَ، عَنِ الْمِقْدَامِ بن مَعْدِي كَرِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ:مَا أَكَلَ أَحَدٌ مِنْ بني آدَمَ طَعَامًا هُوَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدَيْهِ، قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ:وَكَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ يَأْكُلُ مِنْ عَمِلِ يَدَيْهِ.[26] 

Artinya: “Tiada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik dari pada makan yang diperoleh dari hasil dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud AS itu pun makan dari hasil karyanya sendiri.

Bekerja untuk mencari fadhilah karunia Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial, karena Nabi bersabda: “Kemiskinan itu sesungguhnya lebih mendekati kepada kekufuran”.
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Ayat Ketiga:
      Etos kerja tinggi tidak sama sekali terkait persoalan gender (laki-laki atau perempuan), yang membedakan adalah dasar pengabdiannya yaitu dorongan keimanan yang shahih, sebagaimana firman Allah SWT QS An-Nahl: 97:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍ‹ósãZn=sù Zo4qu‹ym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌ“ôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.
.

         Ayat diatas mengemukakan tentang prinsip keadilan dalam beramal, yaitu tanpa membedakan seseorang dengan yang lain kecuali atas dasar pengabdiannya. Prinsip itu adalah: barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan Kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia inidan sesungguhnya pasti akan kami beri balasan kepada mereka semua di dunia dan di akhirat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan.[27]
         Kata ( صالح ) sha>lih/saleh dipahami dalam arti baik, serasi atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal saleh, apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya, dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Dicakup juga oleh kata beramal saleh upaya seseorang menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (perbaikan) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu. Yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang teah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia melakukan aktivitas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.[28]
         Al Qur’an tidak menjelaskan tolak ukur pemenuhan nilai-nilai atau kemanfaatan dan ketidakrusaan itu. Para ulama pun berbeda pendapat. Syikh Muhammad ‘Abduh misalnya mendefinisikan amal salih sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruan. Az-Zamakhsyari, seorang ahli tafsir yang beraliran rasional sebelum Abduh, berpendapat bahwa amal saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau sunnah Nabi Muhammad saw.[29]
         Al Qur’an, walau tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal saleh, tetapi apabila ditelusuri contoh-contoh yang dikemukannya tentang al fasa>d (kerusakan) yang merupakan antonym dari kesalehan, maka paling tidak kita dapat menemukan contoh-contoh amal saleh.[30]
         Firman Allah SWT:  ( وهو مؤمن ) wa huwa mu’min/sedang dia adalah mukmin, menggarisbawahi syarat mutlak bagi penilaian kesalehan amal. Keterkaitan amal saleh dan iman menjadikan pelaku amal saleh melakukan kegiatannya tanpa mengandalkan imbalan segera, serta membekalinya dengan semangat berkorban dan upaya beramal sebaik mungkin.[31]
Ayat keempat
         Miskipun Allah mewajibkan bagi setiap manusia untuk bekerja, namun Allah tidak menghendaki seseorang bekerja di luar batas kemampuan yang dimilikinya. Orang-orang yang beriman akan senantiasa memohon dan menggantungkan dirinya kepada Allah dan pertolongan dari Allah SWT. Ini relevan dengan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 286 :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma’aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
    Hamka dalam tafsirnya menjelaskan  لايكلف الله نفسا الا وسعهاbahwa tidaklah ada suatu perintah didatangkan oleh Allah yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah shalat, tidak sanggup berdiri, boleh duduk. Tidak sanggup duduk, bolehlah berbaring. Tidak ada air, boleh tayamum. Puasa di dalam musafir atau sakit, boleh diganti dihari yang lain. Zakat hanya diwajibkan kepada yang telah sampai nisab dan haul (tahunnya); yang tidak mempunyai kemampuan, tidak wajib berzakat. Naik haji, diperintahkan kalau belanja telah cukup dan perjalanan aman dan diwajibkan hanya sekali dalam seumur hidup.[32]
         Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan penggunaan kata kasabat dalam pengertian usaha yang bernilai positif. Juga memberi isyarat bahwa  kebaikan, meskipun baru dalam niat, Allah akan mencatat dan memberi balasannya. Berbeda jika yang dilakukan keburukan, Allah baru akan memberikan balasan jika perbuatan tersebut dilakukan. Penggunaan kata tersebut juga mengandung makna, bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecendrungan untuk berbuat kebaikan, sehingga akan dengan mudah jika yang dilakukan adalah kebaikan. Sebaliknya, jika yang dilakukan perbuatan buruk maka akan memerlukan usaha ekstra, diliputi oleh perasaan takut dan was-was[33].
  1. D.    Pendapat Pemakalah
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan didalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Dikatakan sebagai aktivitas dinamis, mempunyai makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan seorang muslim harus penuh dengan tantangan (chollenging), tidak monoton, dan selalu berupaya untuk mencari terobosan-terobosan baru (innovative) dan tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan.
   Ibarat meneguk air laut, kian diteguk tarasa kian haus pula rasanya. Islam adalah agama yang bergerak dinamis penuh energi, dan tidak pernah mengenal kamus “berhenti dalam berbuat kebaikan, menggapai prestasi Ilahiyah”, karena tempat perhentian seperti itu, hanyalah kelak di pekuburan sepi, dimana diri kita terasa kaku dan beku terbujur sendirian.
Demikianlah bahwa sikap yang paling agresif dalam etos kerja muslim adalah sikap mental yang selalu siap untuk melontarkan sebuah jawaban: Inilah pekerjaan dan hasil prestasiku, semoga apa yang kuperbuat memberikan nilai sebagai rahmatan lil ‘alamiin, dan semoga Allah mencatatnya sebagai amal saleh. Penghargaan Islam atas hasil karya dan upaya manusia untuk bekerja ditempatkan pada dimensi yang setara setelah iman, bahkan bekerja dapat menjadikan jaminan diampuninya dosa-dosa manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
حدثنا محمد بن عبد الله بن رسته ، نا إبراهيم بن سلم ، نا هاشم بن موسى الخصاف ، نا سليمان بن علي بن عبد الله بن عباس ، حدثني أبي ، عن جدي قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من أمسى كالا من عمل يديه أمسى مغفورا له  [34]
Barang siapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka diwaktu sore itu pulalah ia terampuni dosanya

Bertebaran ayat dan hadits yang memuliakan orang-orang yang bekerja dan seharusnya menjadi dorongan bagi pemeluknya untuk menghayati dan menjadikan etos kerja ini sebagai bagian dari setiap tetesan darahnya, sehingga tampillah dia sebagai manusia muslim yang menyandang gelar syuhada ‘alan naas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar